BIOLOGI TANAH
I. PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Cacing
tanah merupakan hewan vetebrata yang hidup di tempat yang lembab dan tidak
terkena matahari langsung.kelembaban ini penting untuk mempertahankan cadangan
air dalam tubuhnya .kelembaban yang di kehendaki sekitar 60-90% selain tempat
yang lembab, kondisi tanah juga mempengaruhi kehidupan cacing seperi pH tanah, temperatur,
aerasi, CO2, bahan organik jenis tanah, dan suplai makanan.di antara
ketuju faktor tersebut, pH dan bahan organik merupakan dua faktor yang sangat
penting.kisaran pH yang optimal sekitar 6,5-8,5 adapun suhu ideal menurut
beberapa hasil penelitian beberapa berkisar antara 21-30 derajat celcius.
Cacing
yang dapat mempercepat proses pengemposan sebaiknya yang cepat perkembangan
baik tahan hidup dalam limbah organik, dan tidak liar. Dari persyaratan
tersebut, jenis cacing yang cocok yaitu, Lumbricus Rubellus, Elsenia Foetida,
dan Pheretime Asiatica. Cacing ini hidup
dengan menguraikan bahan organik. Bahan organik ini menjadi bahan makanan bagi
cacing. Untuk memberikan kelembaban pada media bahan organik, perlu di
tambahkan kotoran ternak atau pupuk kandang. Selain memberikan kelembaban,
pupuk kandang juga menambah karbonhidrat, terutama selulosa, dan merangsang
kehadiran mikroba yang menjadi makanan cacing tanah.
Cacing
tanah yang kadang-kadang sangat menjijikkan itu merupakan penghuni tanah
pekarangan, tanah persawahan, tegalan, hutan dan tanah lainnya. Cacing tanah
atau Megascolecidae (lumbricus
terrsetis) termasuk familia Annelida
(cacing yang bersegmen) meliputi sekitar
6.000 species, merupakan pelapuk dan penghancur
bahan-bahan organis (sisa tanaman, binatang) yang bermanfaat dalam
pembentukan tanah. Namun demikian banyak pula cacing yang menjadi parasit atau parasit fakultatif.
Perkembangbiakan
cacing melalui telur-telurnya .
sehubungan dengan ini dapat di jelaskan tentang
perkawinannya yang hanya cukup dengan saling menggeserkan clitellum
masing-masing. Cacing selain berperan melapukkan dan menghancurkan bahan-bahan
organis di dalam tanah, juga berperan dalam
menyuburkan tanah. Hal ini dapat di jelaskan sebagai berikut:
a.
Cacing akan memakan / menghisap apa saja
yang ada di muka mulutnya, tanah, sisa tanaman/ binatang yang suda lapuk,
bakteri, cendawan, namatoda yang saprophit ataupun parasitis, yang selanjutnya
dicerna dan dikeluarkan sebagai kotoran;
b.
Biasanya cacing hidup dan bergerak
(secara membuat lubang-lubang dengan dorongan tubuhnya) di dalam lapisan top
soil, sehingga kotoran kotorannya dapat menyuburkan lapisan tersebut, karena
kotoran cacing merupakan hasil pencernaan lapisan tersebut, karena kotoran
cacing merupakan hasil pencernaan yang banyak mengandung berbagai hasil
persenyawan kimiawi yang kompleks.
Dalam hal ini dapat
dijelaskan bahwa sisa-sisa tanaman, mikro flora, mikrofauna yang mengandung zat
protein, karbohidrat, lemak dan enzim-enzim diubahnya dalam perut cacing
menjadi zat-zat mineral yang bermanfaat terkandug dalam kotoran-kotorannya yang
biasanya ditempatkan di pintu lubang / lorong-lorongnya secara bertunpukan.
c.
Lubang- lubang yang dibuat cacing-cacing
di dalam tanah yang kadang-kadang keluar dari batas lapisan top soil masuk ke
dalam lapisan sub soil sejauh 2 sampai 3 meter sangat membantu masuknya air dan
udara ke dalam tanah.
Khusus
tentang kandungan bahan –bahan dalam kotoran cacing beberapa ahli antara lain
menyatakan sebagai berikut :
Tabel 1. Analisa
Kotoran Cacing
ZAT MINERAL
|
KOTORAN
CACING
|
TANAH
ASLINYA
|
Ph
FOSFAT
KALIUM
NITROGEN AMONIAK
CaO
NITROGEN TOTAL
BAHAN ORGANIS
|
6,7
53,9
ppm
294
ppm
49
ppm
2,37
%
0,151
%
1,52
%
|
6,4
37,3
ppm
193
ppm
33
ppm
1,95
%
0,054
%
1,20
%
|
Sumber:
Hanafiah (2005)
Sedangkan Stockli yang juga melaksanakan penelitian
pada kotoran cacing, antara lain menyatakan sebagai berikut :
a. pH
atau reaksi pada kotoran cacing adalah lebih tinggi jika dibandingkan dengan pH
tanah aslinya;
b. kadar
humus yang terkandung pada kotoran cacing adalah lebih tinggui daripada tanah
aslinya;
c. populasi
mikroflora dalam kotoran cacing ternyata lebih meningkat
Dapat
pula di jelaskan bahwa pembuatan lubang atau lorong- lorong dalam tanah oleh
cacing sampai jauh kedalam tanah (2 sampai 3 atau 4 meter ) berarti cacing
telah mengangkat bagian- bagian tanah dari lapisan sup soil paling bawah ke
atas. Maka dengan kegiatannya ini bagian-bagian dari zat mineral (terutama
kalium) akan ikut terangkat ke lapisan atas(top soil).jadi dapat memperkaya bahan
– bahan mineral dalam tanah. Dari uraian di atas maka di pandang perlu untuk
melakukan percobaan biologi tanah.
2. Tujuan Praktikum
Tujuan
dari praktikum ini ialah untuk mengetahui tingkat dekomposisi bahan organik
dengan menggunakan cacing sebagai katalisator selama 6 minggu.
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Biologi Tanah (Cacing Tanah)
Faktor-faktor
ekologis yang mempengaruhi cacing tanah menurut Hanafiah (2003) meliputi :
a.
Kemasaman
(pH) Tanah
Kemasaman
tanah sangat mempengaruhi populasi dan aktifitas cacing sehingga menjadi faktor
pembatas penyebaran dan spesiesnya. Umumnya cacing tanah tumbuh baik pada pH
sekitar 7,0 namun L.terrestris dan A.
caliginose dijumpai pada pH 5,2 – 5,4; beberapa spesies tropis genus megascolex hidup pada tanah masam ber pH
4,5 – 4,7 dan Bimastos lonnbergi pada
pH 4,7 – 5,1 bahkan Dendrobaena Octaedra tanah pada pH dibawah 4,3
sehingga dianggap spesies yang tahan masam. Dilain pihak, Eiseinia foetida lebih menyukai pH 7,0 – 8,0 (Hanafiah, 2002)
Tabel 2. Beberapa
karakter seleksi r dan seleksi K
Karakter
|
Seleksi r
|
Seleksi K
|
1. Iklim
|
Bervariasi dan/atau
tidak terprediksi, tidak pasti
|
Cukup konstan
dan/atau terprediksi, lebih pasti
|
2. Kematian
|
Sering akibat bencana
alam (katastrofi)/tidak langsung, tidak tergantung kerapatan
|
Lebih langsung, tergantung
pada populasi
|
3. Ukuran
populasi
|
Bervariasi dengan
waktu tak seimbang biasanya jauh dibawah kapasitas tamping lingkungan,
komunitas belum jenuh atau sebagian jenuh, secara ekologi vakum, rekolonisasi
setiap tahun
|
Setiap tahun relative
konstan, seimbang, pada atau mendekati kapasitas tampung lingkungan,
komunitas jenuh, tidak perlu rekolonisasi tahunan
|
4. Kompetisi
antar/interspesies
|
Bervariasi, biasanya
lemah
|
Biasanya kuat
|
5. Kerapatan
relative
|
Sering tidak memenuhi
model tongkat patah Mc. Arthur.
|
Biasanya sesuai
|
Banyak
bukti yang menunjukan bahwa pH kotoran tanah lebih netral ketimbang tanah
habitatnya, yang terkait dengan adanya netralisasi asam oleh :
1. Sekresi
kelenjar kalsifera yang dikeluarkannya pada saat melintasi tanah.
2. Sekresi
dari usus dan ammonium, tetapi bagaimana mekanismenya belum jelas.
b.
Kelengasan
Tanah
Sekitar
75 – 90% bobot cacing tanah hidup adalah air (Gran cit. Anas 1990) sehingga dehidrasi (pengeringan) merupakan hal yang
sangat menentukan bagi cacing tanah. Secara alamiah, cacing akan bergerak
ketempat yang lebih basah atau diam jika terjadi kekeringan tanah. Apabila
tidak terhindar dari tanah kering, ia tetap dapat bertahan hidup meskipun
banyak kehilangan air tubuhnya. Sebagian besar Lumbrisidae dapat hidup[ meski tubuhnya telah kehilangan hingga 50%
air bahkan L. Terrestris hingga 70%
dan A. Chlorotica hingga 75%.
Tabel
3. Pengaruh kelengasan tanah terhadap produksi kokon A. Chlorotica
Lokasi
|
Kelengasan (%)
|
Rerata jumlah kokon per 5 cacing
|
Bones
Close
|
11,0
13,5
21,0
28,0
35,5
42,5
|
0,0
0,0
8,6
13,6
8,8
6,6
|
Westfield
|
1,6
24,5
33,0
42,0
50,0
|
0,0
0,6
8,4
9,4
3,0
|
Beberapa
spesieslebih mampu berdaptasi terhadap kondisi kering, L terestris ternyata hidup sama baiknya pada plot tanpa dan dengan
irigasi, ketimbang A. Caliginosa, dan A.
Rosea yang tidak bertahan lama pada plot tanpa irigasi.
c.
Temperatur
Aktifitas,
pertumbuhan, metabolism, respirasi dan reproduksi cacing tanah dipengaruhi
perbedaan temperature sebagai berikut :
a. Jumlah
kokon produksi A Caliginosa dan
beberapa spesies lumbridae lainya berlipat 4 kali pada temperature 6 – 16 oC.
b. Penetasan
kokon A. chlorotica hanya berlangsung
36 hari pda temperature 20 oC, lebih cepat ketimbang 49 hari pada 15
oC dan 112 hari pada 10 oC
c. Priode
dewasa lebih cepat,yaitu 13 minggu pada 18oC ketimbang 28-42 minggu
pada ruang tanpa pemanasan dan 17-19 minggu pada 15oC; E foetida perlu 6,5 pada 28 oC
ketimbang 9,5 minggu pada 18o C.
d. Temperature
permukaan tanah optimum untuk aktifitas cacing tanah di malam hari adalah 10,5o
C,berselesih minimal 2o Cdi atas rumput dan ada hujan 4 hari
sebelumnya.
e. Limit
atas temperature kematian cacing tanah selah terpapar 48 jam adalah 28o
untuk L.terretris, 26o C
untuk A.caliginosa 25o C
untuk E foetida (50% mati pada 24,7o
C) dan pheretima hupiensis (50%mati pada 24,9oC) serta 29,7o C
untuk E. rosea (50%mati pada 26,3oC),dan 34-38,5oC untuk
H.africanus.
Tempertur
berpengaruh terhdap distribusi cacing dalam profil tanah,di England pada bulan
januari dan februari ,waktu suhu sekitar 0oC kebanyakan cacing tanah
berada pada kedelaman 7,5 cm dan waktu suhu 5oC bermigrasi ke
kedalaman 10 cm. Pada kedelaman 10 cm ini spesies yang umumnya di jumpai adalah
cacing bsear yang meliputi A.clorotica,
A.caliginosa dan A.rosea, serta sedikit cacing kecil/ muda A.longa,A.nocturna dan L.terrestris sedangkan cacing dewasa dari
ketiga spesies kemudian ini,yang relative berukuran lebih kecil,telah
bermigrasi ke kedalaman 7,5 cm. Pada juni-oktober kebanyakan cacing tanah
bermigrasi kedalaman lebih dari 7,5 cm dan sebaliknya pada November, desember
dan april. Dua faktor yang mendorong migrasi cacing ke lapisan yang lebih
dalam,yaitu:
a. Permukaan
tanah yang sangat dingin
b. Sangat
kering
d.
Aerasi
dan CO2
Tekanan
CO2 mempengaruhi distribusi cacing tanah meskipun distribusi spesies
seperti E.eiseni dan D.octaedra
pada beberapa tempat lebih di batasi oleh minimalnya tekanan oksigen yang
terjadi pada musim-musim tertentu,tetapi penemuan Satchell ini rancu dengan
beberrapa faktor seperti Ph,kelengasan tanah,jumlah bahan organic
segar,penutupan tanah oleh tanaman,dan status mikroba.E eiseni ini terlihat berkorelasi dengan potensial reduksi oksidas.
Pendapat ini juga terbantah oleh penemuan Boyton dan Rompton Bahwa tekanan O2
pada kedalaman tanah di bawah 150 cm selama 6 bulan / pertahun dan kedalaman 90
cm selama 11 minggu/tahun hanya kurang dari 10% dan ternyata ada beberapa
spesies yang masih tetap hidup dalam waktu yang lama (Hanafiah,2003).
Namun
di lain pihak, baru sedikit petunjuk yang membuktikan bahwa cacing tanah tidak
pindah ke tempat lain sebagai respons terhadap perubahan konsentrasi CO2.E foetida
tidak merspons meskipun konsentrasi CO2 naik 25%,limit
konsentrasi CO2 dalam tanah biasanya antara 0,01 – 11,5% sedangkan
cacing tanah hanya dapat hidup pada konsentrasi yang jauh lebih tinggi bahkan
hingga 50% (Appelhof, 1980).
e.
Bahan
Organik
Distribusi
bahan organic dalam tanah berpengaruh terhadap cacing tanah,karena terkait
dengan sumber nutrisinya sehingga pada tanah miskin bahan organic hanya sedikit
jumlah cacing tanah yang di jumpai. Namun apabila,cacing tanah sedikit namun
bahan organic segar banyak,pelapukannya akan terhambat,seperti terlihat Wales,
Australia yang tanpa cacing tanah,akumulasi sisa rumput dapat setebal 4
cm,begitu cacing tanah diintroduksi akumulasi ini tidak lagi terjadi (Subba
Rao, 1994).
Populsi
cacing tanah segera terpacu apabila tanah diberi kotoran hewan,sebagaimana
terlihat pada hasil-hasil percobaan (cit. Anas, 1990) yerlihat bahwa populasi
cacing tanah yang di beri pupuk kadang dapat mencapai 3-15 kali lebih banyak
ketimbang dalam tanah yang tidak diberi pupuk kandang (Subba Rao, 1994).
f.
Jenis
Tanah
Hubungan
jenis tanah dengan populasi dan spesies cacing tanah telah diteliti Guld.di Skotlandia.
Populasi cacing tanah paling banyak dijumpai pada tanah lempung ringan, pasir
ringan, dan lempung sedang, kemudian pada alluvial, liat, dan lempung
berkerikil serta paling sedikit pada tanah gambut. Kemudian dari segi keragaman
spesies, paling banyak terdapat pada tanah bertekstur pasir ringan, serta pada
tanah lempung, liat, dan alluvial (Hanafiah, 2003).
g.
Suplai
Pakan
Berdasarkan
hasil-hasil penelitian, dalam menyuplai nutrisi atau pakan berupa sisa-sisa
tanaman (serasah bagi cacing tanah perlu diperhatikan palatabilitas (derajat
kesukaan) dedaunan tersebut.
a. ada
yang lebih menyukai serasah segar yang berkalsium tinggi, seperti L.rubellus (yang memiliki alat mekanik
pengeksresi kalsium, sehingga berperan penting dalam perbaikan kejenuhan basa
dan pH) dan ada yang menyukai serasah yang mulai melapuk, seperti A. caliginosa yang juga memakan miselia
jamur.
b. Umumnya
lebih menyukai serasah berkarbohidrat-larut, gula dan berprotein tinggi, L. terrestris lebih menyukai serasah
tanaman Alnus glutinosa yang berkadar N > 1.4% ketimbang serasah berkadar
N < 1%.
c. Umumnya
paling tidak menmyukai serasah conivera seperti daun pinus jarum, cemara, larch, spruce, oak, dan beech, karena
(a) bertanin pekat, (b) berpolifenol larut air atau berfenol polihidrik tinggi,
beralkaloid pahit atau senyawa aromatic noxsions.
d. Urutan
palabilitas (kelebihsukaan) terhadap serasah adalah daun selada, kale, biet,
elm, jagung, lime, birch, oak, dan beech.
e. Inokulasi
sel-sel bakteri ke daun meningkatkan konsumsi serasah, sedangkan penyemprotan
pestisida kimiawi sebaliknya..
2. Komponen Penyusun Tanah
Menurut N.C Brandy(1974) dalam “The nature and properties off soil” bahwa tanah itu merupakan suatu
tubuh alam atau gabungan tubuh yang dapat di anggap sebagai hasil alam bermatra
tiga yang berupa paduan ataau pengrusakan dan pembusukan, yang dalam hal ini
pelapukan dan pembusukan bahan-bahan organik adalah contoh-contoh proses
perusakan, sedang pembentukan mineral baru seperti lempung tertentu serta
lapisan-lapisan yang khusus merupakan prose-proses pembentukan. Gaya-gaya atau
kegiatan-kegiatan tersebut menyebabkan bahan-bahan di alam membentuk tanah. Sifat-sifat
khusus tanah sangat beraneka dari tempat ke tempat, seperti yang berkembang di
iklim tropika dengan yang di iklim ugahari (dingin).
Tanah
merupakan suatu sistem yang dalam suatu keseimbangan dinamis dengan
lingkunganya(lingkungan hidup atau lingkungan lainnya). Tanah tersusun atas 5
komponen yaitu;
a.
partikel mineral, berupa fraksi organik,
perombakan bahan-bahan batuan dan anorganik yang terdapat di permukaan bumi.
b.
Bahan organik yang berasal dari
sisa-sisa tanaman dan binatang dan berbagai hasil kotoran;
c.
Air
d.
Udara tanah, dan
e.
Kehidupan jasad renik.
Perbedaan
perbandingan komponen-komponen di atas akan menyebabkan adanya perbedaan antara
tanah yang satu dengan tanah lainnya. Secara umum komposisi volume tanah
bertektur lempung berdebu yang optimal bagi pertumbuhan tanaman. Menurut Brady,
(1974) ± 50% berupa ruang
pori(udara dan mineral), sedang fasa dapat menduduki volume sekitar 45% bahan
mineral 4% bahan organik. Pada kelembaban optimum bagi pertumbuhan maka 50%
ruang pori itu akan terbagi atas 25% udara 25% air. Udara dan air dalam tanah
itu keadaannya demikian goyang, perbandingannya menentukan keserasian
pertumbuhan tanaman.
III. BAHAN DAN METODE
1. Tempat dan Waktu
Praktikum
ini di laksanakan di laboratorium dasar Fakultas Pertanian Universitas Khairun Ternate,
pada tanggal 14 November 2011. Dimana waktu pelaksanaannya mulai dari pukul 14.00
sampai selesai.
2. Alat Dan Bahan
Adapun
alat dan bahan yang di gunakan dalam praktikum ini antara lain yaitu hand
sprayer, wadah (baki), alat tulis menulis, kamera digital atau kamera HP,
tanah, air, daun dadap, cacing tanah dan kotoran ayam
3. Metode Praktikum
Metode
yang di gunakan dalam praktikum ini adalah metode pengamatan visual.
4. Pelaksanaan
Adapun pelaksanaan yang dilakukan,
yaitu :
1. Pengumpulan
dan penyiapan alat dan bahan
2. Daun
dadap dicabik-cabik menggunakan tangan hingga menjadi sekecil mungkin
3. Setelah
daun dadap dicabik-cabik, dilanjutkan dengan pengolahan tanah dimana tanah yang diambil dihaluskan dan
dipisahkan dari materi-materi lain selain tanah.
4. Kemudian
haluskan kotoran ayam yang tadinya dalam bentuk gumpaln besar menjadi gumpalan
kecil.
5. Masukan
sampel tanah lapisan I, daun dadap, dan pupuk kedalam baki yang telah
disiapkan.
6. Pemberian
cacing sebanyak sepuluh ekor kedalam baki yang berisi tanah, daun dadap, dan
kotoran ayam.
7. Dilanjutkan
dengan pemberian sampel tanah lapisan II dan III, diikuti dengan penyemprotan
air menggunakan hand sprayer
8. Setelah
itu, masukkan daun dadap dan kotoran ayam lalu disemprot kembali dengan air.
9. Selanjutnya
wadah yang telah terisi bahan-bahan tersebut di biarkan sambil diamati dan
melakukan penyemprotan air setiap hari dengan rentan waktu selama 3 minggu.
5. Metode Analisa Data
Metode
analisa data yang digunakan adalah dengan teknik deskriptif.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Hasil
Dari
hasil prktikum di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Khairun
Ternate diperoleh hasil antara lain sebagai berikut:
Tabel
4. Data Pengamatan Cacing
No.
|
Sampel
|
Ju/mlah
Cacing
|
Jumlah
Cascing
|
Waktu
|
1
|
Kelompok
I
|
–
|
–
|
2 minggu
|
2
|
Kelompok
II
|
–
|
–
|
3 minggu
|
3
|
Kelompok
III
|
–
|
–
|
4 minggu
|
4
|
Kelompok
IV
|
–
|
–
|
5 minggu
|
5
|
Kelompok
V
|
7
|
–
|
6 minggu
|
Sumber: data diolah 2011
Tabel
5. Data Pengamatan Biokimia
No.
|
Sampel
|
Gas
H2S
|
Gas
NH3
|
Waktu
|
1
|
Kelompok
I
|
–
|
Ö
|
2 minggu
|
2
|
Kelompok
II
|
Ö
|
–
|
3 minggu
|
3
|
Kelompok
III
|
–
|
Ö
|
4 minggu
|
4
|
Kelompok
IV
|
Ö
|
–
|
5 minggu
|
5
|
Kelompok
V
|
Ö
|
–
|
6 minggu
|
Sumber: data diolah 2011
Tabel 6. Data
Pengamatan Kematangan Bahan Organik
No.
|
Sampel
|
Warna
|
Tekstur
|
Kadar
Air
|
Waktu
|
1
|
Kelompok
I
|
Coklat Kehitaman
|
Sedang
|
Lembab
|
2 minggu
|
2
|
Kelompok
II
|
Coklat Kehitaman
|
Halus
|
Kering
|
3 minggu
|
3
|
Kelompok
III
|
Hitam Kecoklatan
|
Halus
|
Lembab
|
4 minggu
|
4
|
Kelompok
IV
|
Coklat Kehitaman
|
Kasar
|
Kering
|
5 minggu
|
5
|
Kelompok
V
|
Coklat Kehitaman
|
Halus
|
Kering
|
6 minggu
|
Sumber:
data diolah 2011
Keterangan
sampel yang di gunakan:
1. Sampel
kelompok I yaitu daun petai cina, kotoran kuda, kotoran ayam, 10 ekor cacing
tanah dan sampel tanah lapisan I, II, III.
2. Sampel
kelompok II yaitu daun lantoro, 10 ekor cacing tanah dan sampel tanah lapisan
I, II, III.
3. Sampel
kelompok III yaitu daun dadap, kotoran ayam, 10 ekor cacing tanah dan sampel
tanah lapisan I, II, III.
4. Sampel
kelompok IV yaitu daun trambesi, kotoran kambing, 10 ekor cacing tanah dan
sampel tanah lapisan I, II, III.
5. Sampel
kelompok V yaitu daun lantoro, kotoran sapi, 10 ekor cacing tanah dan sampel
tanah lapisan I, II, III.
2.
Pembahasan
Dari
praktikum dilaboratoium diperoleh hasil bahwa dari setiap minggunya proses transformasi
bahan organik makro menjadi mikro yang di jadikan sebagai media tempat hidup
cacing percobaan ternyata bebeda - beda. Hal ini disebabkan oleh lamanya waktu
yang disediakan dan kondisi lingkungan dalam proses dekomposisi, semakin lama
waktu yang disedikan maka semakin matang bahan organiknya. Perbedaan kematangan
bahan organik dapat dilihat pada tabel 5 dan tabel 6.
Ciri
– ciri bahan organik matang anatara lain: tidak berbau, berwarna coklat
kehitaman atau hitam kecoklatan, kadar air dibawah 30% dan tekstur halus. Akan
tetapi hasil yang didapatkan bahwa adanya gas yang dihasilkan oleh bahan
organik yang terdapat didalam wadah atau baki. Gas – gas tersebut antara lain
gas H2S dan gas NH3. gas yang dihasilkan setiap sampel
pun berbeda – beda seperti yang di paparkan pada tabel 5, perbedaan itu muncul
karena kadar air yang dimiliki masing – masing sampel. Kadar dapat stabil apabila
penyiraman dilakuan dengan teratur akan tetapi pada setiap sampel tidak diberi air
dengan merata sehingga bahan orgnik pada sampel kelompok II, IV dan V sedangkan
pada sampel kelompok I dan III diberi
air dalam jumlah yang cukup sehingga proses transformasi dan dekomposisi dapat
berlangsung dengan baik dan bahan organik pun matang dengan cukup sempurna.
Dari
perbedaan kematangan bahan organik yang dijadikan sebagi tempat hidup cacing
tanah maka ketersedian makan dan kelembaban pun ikut berpengaruh terhadap
bertahan hidup atau tidak pada cacing tersebut. Hasil yang diperoleh pada
pengamatan di laboratorium menujukan bahwa dari 50 ekor cacing dari keseluruhan
sampel setiap kelompok atau 10 ekor cacing untuk masing – masing wadah atau baki setiap kelompok ternyata tidak
dapat bertahan hidup atau menyesuaikan diri dengan lingkuan yang disediakan di
dalam wadah atau baki sampai pada proses pengambilan data.
Ada
faktor yang sangat mempengaruhi sehingga dari keleuruhan cacing yang berada
didalam wadah atau baki tidak dapat bertahan hidup antara lain proses
penyiraman yang kurang stabil sehingga membuat media menjadi kering sehingga
cacing pun menjadi stres karena kekuranga air dan pada akhirnya cacing itu pun
mati. Akan tetapi tidak semuanya morfologi cacing itu terurai habis, masih ada
7 ekor cacing pada sampel kelompok V yang morfologinya tetap utuh akan tetapi
dalam kondisi sudah tidak bernyawa lagi. Ini menandakan bahwa 7 ekor cacing
yang menjadi sampel penilitian itu pada saat di masukan dalam wadah atau baki
dalam kondisi sehat atau tidak cacat.
Dari
uraian ini dijelaskan bahwa media yang disediakan tidak dapat memberikan
kontribusi untuk proses biologi tanah dalam menjamin hidup cacing didalam wadah
atau baki dan dipengaruhi oleh perawatan yang diberkan pada saat proses
dekomposisi dan transformasi berlangsung.
Menurut
Soepardi, (1979) faktor – faktor yang mempengaruhi bahan organik tanah adalah
kedalaman tanah, iklim, dan drainase. Kedalam lapisan menentukan kadar bahan
organik dan N, kadar bahan organik terbanyak ditemukan dilapisan atas setebal
20 cm (15% – 20 %), makin kebawah makin berkurang. Hal itu disebabkan akumulasi
bahan organik memang terkonsentrasi dilapisan atas. Faktor ikilm yang
berpengaruh adalah suhu dan curah hujan. Makin kedaerah dingin kadar bahan
organik dan N makin tinggi. Pada kondisi yang sama kadar bahan organik dan N
bertambah dua hingga tiga kali tipa suhu tahunan rata – rata 10oC. Bila
kelembapan efektif meningkat kadar bahan organik dan n juga bertambah. Hal itu menjukan suatu hambatan kegiatan
organisme tanah. Darinase buruk, dimana air berlebih oksidasi terhambat karena
airase buruk menyebabkan kadar bahan organik dan N tinggi daripada tanah berdainase
baik.
Output
pelapukan kotoran hewan dan bahan hijau ialah menghasilkan bahan kompos.
Didalam kompos mengandung bahan humus. Menurut Kononora, (1966) humus adalah
senyawa kompeleks yang agag resisten pelapukan, berwarna coklat, amorfus, bersifat
koloidal dan berasal dari jaringan tumbuhan atau binatang yang telah
dimodefikasikan atau disintesikan oleh berbagai jasad mikro.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil dan
pembahasan tentang proses biologi tanah antara lain sebagai berikut:
1. Jumlah
keseluruhan cacing yang dipakai ternyata tidak bisa bertahan hidup akan tetapi
ada 7 ekor cacing yang masih dalam keadaan utuh walupun dalam kondisi tidak
hidup lagi.
2. Dari
bahan organik yang digunakan menghasilkan gas H2S dan NH3.
3. Dari
hasil pengamatan kematangan bahan organik dengan warna coklat kehitaman, hitam
kecoklatan. Memiliki tekstur sedang, halus dan kasar. Sedangkan kadar air
lembab dan kering.
2. Saran
Dari kesimpulan diatas maka dapat kami sarankan jika
nanti pada praktikum biologi tanah berikutnya sebagainya menggunakan organisme
lain untuk mendekomposisikan bahan organik dan wadah
yang cukup besar sehingga organisme yang melakukan dekomposisi lebih leluasa
dalam menyesuakian diri.
DAFTAR PUSTAKA
Anas, I. 1990. Biologi Tanah. IPB Press. Bogor
Appelhof, M.
1980, “Pengomposan Dengan Cacing Tanah
Pada Skala Kecil”. dalam Anas (1990)
Buckman
dan Brady. 1974. Ilmu Tanah. Bhratara
Karya Aksara. Jakarta.
Hanafiah,
K.A2002. Biologi Tanah. Rajawali
Pers. Jakarta
_______.2003. Biologi Tanah: Sebagi Pengantar ke
Bioteknologi Tanah. Ilmu Tanah FP Unsir, Indralaya, Sumsel.
_______. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Persada Raja
Grafindo Press. Jakarta.
Kononora, M.M.
1966. Soil Organic Mater, Ist Nature Ist
Role In Soil Formstion and In Soil Fertility,Translated by T. Z. Novakowski
and A. C. D. Newman, Pergamon Press, Oxford.
Rachman, A. I.
2010. Penuntun Praktikum di Laboratorium
& Pedoman Pengamatan Tanah di Lapangan. Faperta Unkhair. Ternate.
Soepardi,
G.1979. Sifat dan Ciri Tanah, Sandura
dari Nature and Properties of soils, oleh N.C. Brady, 1975
Sutedjo dan Kartasapoetra, (2005), Pengantar Ilmu Tanah, Rineka Cipta,
Jakarta.
Subba Rao, N.S.
1994. Mikroorganisme dan Pertumbuhan
Tanaman. Edisi kedua (Terjemahan). UlPress. 353 hal.
Komentar
Posting Komentar